Luka Lama Kader PDIP dan Dilema Mengusung Anies Baswedan atau Ahok di Pilkada Jakarta 2024
PDIP kemungkinan menghadapi dilema dalam memilih calon gubernur DKI Jakarta antara mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Anies Baswedan. Dilema ini tentunya mengingatkan pada luka lama yang kemungkinan belum sepenuhnya sembuh di kalangan kader PDIP
Oleh : Sugiyanto (SGY)
Aktivis Senior Jakarta
Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), adalah salah satu figur politik yang paling dikenang dalam sejarah Pilkada DKI Jakarta. Namun, perjalanan politik Ahok di Pilkada 2017 berakhir tragis, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi banyak kader dan pendukung PDIP.
Pada saat itu, Ahok mencalonkan diri sebagai gubernur petahana melawan Anies Baswedan. Namun, persaingan ini bukan sekadar kompetisi politik biasa. Pilkada 2017 diduga diwarnai oleh isu agama yang sangat dominan, yang berdampak luas. Ahok pun harus menghadapi kasus hukum yang berujung pada vonis penjara.
Kasus penistaan agama yang menjerat Ahok berawal dari pernyataannya yang dianggap melecehkan Al-Qur’an. Isu ini kemudian diduga dimanfaatkan dalam konteks politik. Dalam hal ini, Anies Baswedan diduga memanfaatkan isu agama untuk menarik dukungan dari kelompok mayoritas Muslim. Akibatnya, Ahok kalah dalam Pilkada dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun.
Keputusan hukum tersebut tidak hanya mengguncang Ahok secara pribadi, tetapi juga meninggalkan luka mendalam di kalangan pendukungnya, khususnya kader PDIP. Mereka merasa bahwa keadilan tidak ditegakkan, dan Ahok menjadi korban dari politisasi agama yang seharusnya tidak terjadi di negara yang menjunjung tinggi prinsip pluralisme dan toleransi.
Rasa kecewa dan kesedihan ini boleh jadi masih terasa hingga kini di kalangan pendukung Ahok. Mereka menganggap bahwa perjuangan politik Ahok, yang dianggap bersih dan pro-rakyat, harus kandas oleh isu agama yang sensitif. Bagi kader PDIP, perasaan ini sangat wajar, karena Ahok dianggap diperlakukan tidak adil, baik dari sisi hukum maupun politik.
Dilema PDIP: Mengusung Anies atau Ahok?
Dalam beberapa hari mendatang, tepatnya pada 27 hingga 29 Agustus, Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta akan menerima pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pilkada serentak 2024, yang dijadwalkan berlangsung pada 27 November 2024.
Dalam konteks Pilkada tersebut, PDIP kemungkinan menghadapi dilema dalam memilih calon gubernur DKI Jakarta antara mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Anies Baswedan. Dilema ini tentunya mengingatkan pada luka lama yang kemungkinan belum sepenuhnya sembuh di kalangan kader PDIP.
Ketika Ahok, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Jakarta, terjebak dalam pusaran kontroversi besar, tuduhan penistaan agama menghancurkan karir politiknya, meskipun ia didukung penuh oleh PDIP. Ahok akhirnya dipenjara, sementara Anies Baswedan, yang berlawanan dengannya, muncul sebagai pemenang.
Dugaan memanfaatkan isu agama sebagai salah satu strategi kampanyenya pun muncul ketika itu. Bagi kader PDIP, peristiwa ini sangat menyakitkan. Ahok bukan hanya kader PDIP yang loyal, tetapi juga simbol keberanian partai dalam mendukung pluralisme dan toleransi di tengah isu-isu sektarian yang memanas.
Kekalahan Ahok di Pilkada 2017, yang diikuti dengan hukuman penjara, menjadi pil pahit yang sulit ditelan oleh para pendukungnya.
Kini, tujuh tahun kemudian, Pilkada Jakarta 2024 mengharuskan PDIP mengambil keputusan sulit. Apakah PDIP akan mengusung kembali Ahok, yang berpotensi merebut hati masyarakat Jakarta yang merindukan sosok pemimpin tegas dan berintegritas?
Ataukah PDIP harus mempertimbangkan Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta yang pernah mengalahkan Ahok, namun kini berada dalam posisi politik yang lemah setelah kekalahannya di Pilpres 2024 dan ditinggal partai-partai untuk maju di Pilkada Jakarta?
Mengusung Ahok berarti PDIP harus siap menghadapi tantangan besar, terutama karena elektabilitas Anies Baswedan saat ini lebih tinggi dibandingkan Ahok. Di sisi lain, jika PDIP memutuskan untuk mendukung Anies Baswedan, partai ini kemungkinan berisiko menghadapi penolakan dari dalam.
Banyak kader PDIP yang kemungkinan masih menyimpan rasa sakit hati terhadap Anies, mengingat bagaimana ia diduga dan dianggap telah mengambil keuntungan dari situasi yang menjerat Ahok. Selain itu, mengusung Anies boleh jadi bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan PDIP selama ini. Namun, politik sering kali memaksa partai untuk membuat keputusan pragmatis.
Pada akhirnya, dilema ini mencerminkan kompleksitas politik Jakarta, di mana sejarah, emosi, dan perhitungan strategis semuanya saling terkait. Apapun keputusan PDIP nantinya, Pilkada Jakarta 2024 akan menjadi panggung besar yang menantang. Hal ini juga akan menguji seberapa dalam luka lama kader PDIP masih membekas dan bagaimana partai ini menyikapi dilema yang ada.
Siapa yang akan diusung oleh PDIP di Pilkada Jakarta 2024—Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atau Anies Rasyid Baswedan? Atau yang lainnya? Hanya DPP PDIP di bawah kepemimpinan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri, yang mengetahui jawabannya. Wallahu a'lam bish-shawab.